Thursday, May 18, 2023

Filosofi Hari Suci Saraswati

Filosofi Hari Suci Saraswati


Memasuki Wuku Watugunung, umat Hindu akan diwarnai kesehariannya dengan persiapan sebuah hari raya yang datangnya 210 hari sekali yaitu Saraswati. Dalam berbagai pustaka serta wejangan mantra Veda, Saraswati dijelaskan sebagai salah satu Manifestasi Ida Sang Hyang Widhi sebagai menguasai ilmu Pengetahuan. Ilmu yang memberikan keutamaan pada setiap makhluk di dunia ini. Ilmu yang dikatakan didalam Nitisastra sebagai salah satu penyebab bersinarnya seorang individu secara keilmuan. Selain itu, ilmu yang juga menjadi teman yang paling setia dalam kehidupan manusia karena ilmulah yang selalu menjadi "pengada" eksistensi manusia di dunia ini. Bagaimanakah kepercayaaan kita tentang munculnya perayaan Saraswati ini ? mari kita lihat dari mitologi Sang Waturenggong berikut ini.


Mengenal Dewi Ilmu Pengetahuan

Berdasarkan epos, Sang Watugunung dipersonifikasikan sebagai karakter yang keras, memiliki kesaktian dan kekuatan yang tinggi, sehingga tidak satupun bisa mengalahkannya dalam peperangan baik manusia dan konon oleh para Dewa. Dalam kisah ini diceritakan Sang Watugunung adalah seorang putra raja dari kerajaan Sinta, dengan nama ratunya adalah Dewi Sinta. Pada suatu hari, Ratu Sinta sangat marah kepada Sang Watugunung. karena kenakalannya yang kemudian menyebabkan Sang Watugunung kemudian minggat dari rumah dan melakukan tapa semadi, hingga berlangsung cukup lama dan kemudian Bhatara Brahma turun memberikan penganugrahan kesaktian kepada Sang Watugunung.

Karena kesaktiannya, Sang Watugunung mulai angkuh dengan merebut kekuasaan kepada para raja dan menaklukkan kerajaan-kerajaan lain seperti kerajaan Landap, Ukir, Kulantir dan sampai ke 29 kerajaan lain termasuk kerajaan Sinta. Sang Dewi Sinta sebagai ratu kerajaan Sinta, sama sekali tidak tahu kalau Sang Watugunung adalah anaknya sendiri, begitu pula sebaliknya Sang Watugunung tidak tahu kalau Dewi Sinta adalah Ibunya. Atas ketidaktahuannya itu, terjadilah perkawinan dimana Sang Watugunung memperistri Dewi Sinta. Setelah berlangsung sekian lama, akhirnya Sang Dewi Sinta mengetahui keadaan yang sebenarnya dan betapa kagetnya dia atas kejadian itu. Mulailah Dewi Sinta mencari akal, agar bisa merubah keadaan tersebut. Diberitahukan kepada Sang Watugunung bahwa dirinya hamil dan ngidam. Dewi Sinta ngidam agar Sang Watugunung pergi ke Wisnu Loka untuk memperistri Bhatara Wisnu untuk jadi  madunya.

Keberadaan Sang Watugunung yang ingin memperistri Dewa Wisnu, akhirnya menimbulkan kemarahan Dewa Wisnu dan mencari cara agar bisa mengalahkan Sang Watugunung. Akhirnya Bhatara  Wisnu bertandang ke Bhagawan Sukra, memohon petunjuk bagaimana caranya mengalahkan Sang Watugunung. Kemudian Bhagawan Sukra mengutus anaknya Bhagawan Lumanglang untuk mengetahui kelemahan Sang Watugunung. Akhirnya terkuak rahasia Sang Watugunung dan si Laba-Laba mengetahui kelemahan Sang Watugunung, yaitu kesaktian hanya bisa dikalahkan oleh kekuatan Wisnu dalam wujud Kurma (Kura-Kura).

Mengetahui akan kelemahan Sang Watugunung, kemudian Bhatara Wisnu menantang Sang Watugunung untuk perang tanding lagi dan akhirnya Sang Watugunung dapat dikalahkan oleh Bhatara Wisnu dalam wujud Kurma. Pada hari Redite Kliwon Watugunung Sang Watugunung runtuh, dan sesaat sebelum badannya rubuh ke bumi Sang Watugunung memohon kepada Bhatara Wisnu, bila tubuhnya jatuh dilautan samudera, agar diberikan sinar matahari yang terik agar tidak kedinginan, dan bila tubuhnya jatuh di daratan agar diberikan hujan agar badannya tidak kekeringan dan kepanasan. Inilah yang kemudian menjadi kepercayaan beberapa masyarakat bahwa jika I Watugunung runtuh ke samudera maka akan terjadi panas terik, sebaliknya jika jatuh di daratan akan terjadi hujan angin.

Pada hari keesokannya, Soma Umanis Watugunung Sang Watugunung meninggal dunia (disebut dengan soma pamelastali atau sandungatang atau Watugunung runtuh) dan tepat pada hari Anggara Pahing Watugunung mayat Sang Watugunung diseret-seret sehingga hari itu disebut hari “Paid-paidan”. Pada hari Buda Pon Watugunung, Sang Watugunung sempat siuman (sehingga disebut dengan  buda urip) tetapi kemudian dibunuh lagi oleh Bhatara Wisnu. Oleh Sang Sapta Rsi, diuriplah kembali Sang Watugunung. Yang pertama oleh Bhagawan Radite Sang Watugunung dihidupkan dengan japa mantranya sampai lima kali baru bisa hidup. Namun kemudian dibunuh lagi oleh Bhatara Wisnu. Begitu selanjutnya detiap dihidupkan oleh Bhagawan Soma dengan japa mantranya sampai tiga kali, Bhagawan budha dengan japa mantranya sebanyak tujuh kali, Bhagawan Wrespadi mengucapkan japa mantranya sebanyak delapan kali, Sang Watugunung kembali hidup (hari Wrespati disebut dengan hari panegtegan) namun kembali Sang Watugunung di bunuh oleh Bhatara Wisnu.

Pada akhirnya kemudian Bhatara Sukra (pada hari jum’at) memohon kepada bhatara Wisnu agar memberikan kesempatan kepada Sang Watugunung untuk hidup dan memperbaiki perbuatannya. Bhatara Wisnu sadar bahwa Sang Watugunung sebagai menusia tidak lepas dari kesalahan dan memiliki kemampuan yang tebatas. Kemudian Bhagawan Sukra mengucapkan japa mantranya dan akhirnya Sang Watugunung hidup lagi dan mulai saat itu kesombongan Sang Watugunung musnah. Keesokan harinya, tepatnya Sukra Kliwon Watugunung, Sang Watugunung mulai menyucikan dirinya, dan melaksanakan Tapa, Brata, Yoga, Samadhi, untuk memohon kepradnyanan kepada Sang Hyang Widhi, yang kemudian hari itu disebut dengan “Pengeredanan”. Karena keteguhannya Sang Watugunung melakukan tapa, keesokan harinya yaitu Saniscara Umanis Watugunung, dianugerahkan ilmu  pengetahuan oleh Ida Sang Hyang Widhi, maka sejak saat itu pada hari yang sama disebut dengan " Hari Suci Saraswati".

         Mitologi ini memberikan kita nasehat bahwa sesakti-saktinya manusia pasti akan mampu ditaklukan jika kesaktiannya itu berisikan adharma yaitu kesombongan dan keangkuhan. Saraswati mengingatkan kita untuk tetap rendah hati sebagai manusia walau dengan segala kelebihan, bukan rendah diri. Ilmu bukan serta merta memberikan kekayaan, namun mampu memberikan kehidupan manusia menjadi lebih baik. menjadi lebih baik artinya “setata eling ring swadharma” yaitu apa yang menjadi kewajiban kita lakukanlah dengan baik serta bertanggungjawab. Jangan mempertimbangkan orang lain terhadap kita sendiri karena mereka belum tentu juga kebaikannya. Pemahaman seseorang tentang Ilmu pengetahuan bukan diukur dari sebanyak apa studinya, tetapi lebih daripada seberapa jauh kita melakukan sadhana Dharma dengan baik di alam ini. Mari kita mengejar Ilmu pengetahuan guna kehidupan kita yang lebih baik. Rahajeng Nyanggra Rahina Saraswati. (eka)

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih Sudah Berkontribusi Pengembangan Blog Ini